Hi, long time no post! Gimana nih kabar teman-teman semua? Semoga selalu dalam keadaan sehat dan bahagia yah? Aamiin...
Nggak kerasa udah sekitar 3 bulan saya nggak menulis di ‘rumah maya’ ini. Kangen juga ternyata karena saking banyaknya ide yang berlarian di kepala tapi benar-benar nggak ada waktu untuk sekedar duduk dan membuka laptop. Bukannya sok sibuk sih, tapi memang sejak tiga bulan belakangan saya harus fokus untuk proses persalinan dan menikmati peran baru sebagai seorang Ibu.
Nggak kerasa udah sekitar 3 bulan saya nggak menulis di ‘rumah maya’ ini. Kangen juga ternyata karena saking banyaknya ide yang berlarian di kepala tapi benar-benar nggak ada waktu untuk sekedar duduk dan membuka laptop. Bukannya sok sibuk sih, tapi memang sejak tiga bulan belakangan saya harus fokus untuk proses persalinan dan menikmati peran baru sebagai seorang Ibu.
Ya, Alhamdulillah awal bulan Februari lalu, saya akhirnya bertemu dengan bayi kecilku, anakku. Sungguh penantian yang panjang dan sempat membuat perasaan saya campur aduk beberapa minggu menuju HPL (Hari Perkiraan Lahir). Bagaimana tidak, sampai beberapa hari menuju HPL saya tak kunjung merasakan tanda-tanda persalinan. Padahal, saya sudah mencoba untuk melakukan berbagai anjuran yang disarankan oleh tenaga medis atau teman-teman yang berpengalaman agar supaya segera merasakan tanda-tanda akan melahirkan dan prosesnya bisa berjalan dengan lancar, menyenangkan dan bebas rasa takut.
Memang sih, HPL ini bersifat perkiraan saja dan katanya memang bisa maju atau mundur selama satu minggu. Dokter kandungan yang saya percaya pun berkata demikian setiap kali saya konsultasi dan mengungkapkan bahwa saya beserta janin masih punya waktu satu minggu sejak HPL. Dan yang terpenting bagi kami semua kala itu adalah janin saya dalam keadaan sehat. Tapi tetap saja, meski dokter berkata demikian, saya akui sempat merasa khawatir dan sudah tak sabar ingin segera bertemu dengan anakku. Sampai akhirnya H+5 dari HPL saya mulai merasakan beberapa tanda-tanda persalinan yaitu sakit punggung di bagian bawah, perut terasa lebih 'turun', frekuensi buang air kecil dan besar meningkat, kontraksi palsu dan lendir darah.
Saat merasakan tanda-tanda persalinan saya merasa senang dan terus berkomunikasi dengan janin. Padahal deg-degan juga sih saat lendir darah mulai banyak yang keluar. Tapi sebisa mungkin saya menyemangati diri saya sendiri untuk terus berpikiran positif dan melakukan tindakan yang bisa membuat proses persalinan nantinya bisa berjalan nyaman, aman, dan lancar. Selain mengeluarkan lendir darah, rupanya saya merasakan kontraksi palsu (braxton hicks) yang bagi saya pribadi sungguh 'luar biasa' rasanya setiap kali datang. Sampai-sampai membuat saya tidak tidur semalaman.
Awalnya, saat merasakan kontraksi, saya berpikir bahwa saya benar-benar merasakan kontraksi sebelum persalinan yang sesungguhnya, bukan kontraksi palsu. Tapi ternyata saya salah. Setelah semalaman nggak tidur, dengan penuh semangat saya pergi ke rumah sakit. Mengapa saya merasa yakin dan segera pergi ke RS waktu itu? Karena kontraksi yang saya rasakan berpola, semakin lama semakin sering dan semakin kuat intensitasnya. Selain itu durasi kontraksi yang saya rasakan sudah masuk dalam rumus 5-1-1.
Sesampainya di RS dan bertemu dengan dokter kandungan, rupanya kontraksi yang saya rasakan hanyalah palsu belaka. Sedih dan sedikit kecewa sih, apalagi saya mau nggak mau harus pulang lagi ke rumah karena memang belum waktunya melahirkan. Apa boleh buat dan mau dikatakan apalagi, saya yang ditemani suami dan Mama harus kembali pulang ke rumah, deh. Sabar...
Malam harinya. saya kembali merasakan kontraksi yang semakin kuat dan lama disertai dengan ketidaknyamanan di area punggung dan pinggang. Lendir darah pun semakin banyak yang keluar dan warnanya kecokelatan dan merah muda. Lagi lagi deh, saya tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Tapi saya masih semangat kala itu karena apa yang saya rasakan menjadi pertanda dengan semakin dekatnya dengan proses persalinan.
Saat merasakan tanda-tanda persalinan saya merasa senang dan terus berkomunikasi dengan janin. Padahal deg-degan juga sih saat lendir darah mulai banyak yang keluar. Tapi sebisa mungkin saya menyemangati diri saya sendiri untuk terus berpikiran positif dan melakukan tindakan yang bisa membuat proses persalinan nantinya bisa berjalan nyaman, aman, dan lancar. Selain mengeluarkan lendir darah, rupanya saya merasakan kontraksi palsu (braxton hicks) yang bagi saya pribadi sungguh 'luar biasa' rasanya setiap kali datang. Sampai-sampai membuat saya tidak tidur semalaman.
Awalnya, saat merasakan kontraksi, saya berpikir bahwa saya benar-benar merasakan kontraksi sebelum persalinan yang sesungguhnya, bukan kontraksi palsu. Tapi ternyata saya salah. Setelah semalaman nggak tidur, dengan penuh semangat saya pergi ke rumah sakit. Mengapa saya merasa yakin dan segera pergi ke RS waktu itu? Karena kontraksi yang saya rasakan berpola, semakin lama semakin sering dan semakin kuat intensitasnya. Selain itu durasi kontraksi yang saya rasakan sudah masuk dalam rumus 5-1-1.
Sesampainya di RS dan bertemu dengan dokter kandungan, rupanya kontraksi yang saya rasakan hanyalah palsu belaka. Sedih dan sedikit kecewa sih, apalagi saya mau nggak mau harus pulang lagi ke rumah karena memang belum waktunya melahirkan. Apa boleh buat dan mau dikatakan apalagi, saya yang ditemani suami dan Mama harus kembali pulang ke rumah, deh. Sabar...
Malam harinya. saya kembali merasakan kontraksi yang semakin kuat dan lama disertai dengan ketidaknyamanan di area punggung dan pinggang. Lendir darah pun semakin banyak yang keluar dan warnanya kecokelatan dan merah muda. Lagi lagi deh, saya tidak bisa tidur nyenyak semalaman. Tapi saya masih semangat kala itu karena apa yang saya rasakan menjadi pertanda dengan semakin dekatnya dengan proses persalinan.
Pagi harinya dengan semangat dan penuh keyakinan, saya kembali datang ke RS hingga kemudian dicek oleh bidan ternyata benar sudah ada pembukaan, meski baru pembukaan 1 dan beberapa jam kemudian bertambah menjadi pembukaan 2, saya senang. Biasanya jika masih pembukaan 1-3, calon ibu masih diperbolehkan melakukan berbagai aktivitas atau bahkan 'menunggu' di rumah atau malah jalan-jalan di luar rumah, pokoknya yang bikin calon ibu dan janin merasa happy.
Namun, karena usia kehamilan saya sudah melewati HPL, saya disarankan oleh dokter dan bidan untuk langsung rawat inap saja dengan pertimbangan agar perkembangan janin bisa terus dipantau oleh mereka. Saya setuju, begitupula dengan suami dan Mama. Saat suami dan Mama mengurus administrasi saya sudah berpikiran untuk melakukan berbagai hal yang menyenangkan di RS. Selain untuk tujuan biar pembukaan makin nambah, juga biar saya nggak merasa stres. Tapi ternyata pikiran yang menyenangkan itu berubah menjadi hal yang menganggu pikiran saya dan cukup memancing emosi.
Pertama, urusan BPJS Kesehatan. Sejak awal saya memang sudah merencanakan untuk melahirkan menggunakan bantuan dari BPJS yang selama hampir 3 tahun saya iuran tapi belum pernah sama sekali saya gunakan. Sayang kan? Makanya, sejak hamil saya sudah berpikiran untuk menggunakan BPJS. Untungnya lagi RS tempat saya hendak melahirkan bisa menggunakan BPJS dan dokter kandungan yang menangani saya pun menyarankan untuk segera mengurus administrasi yang diperlukan. Tapi sedih dan apesnya, sejak mengurus administrasi di Faskes 1 sudah dipersulit untuk meminta rujukan. Meski akhirnya mendapat rujukan, ternyata sesampainya di RS malah ditolak. Dan yang menolak saya dokter saya sendiri. Sedih nggak sih? Ini nih urusan kedua yang cukup menganggu dan bikin baper.
Kata dokter, kondisi kehamilan saya tidak termasuk dalam daftar kriteria gawat darurat, seperti ketuban pecah dini (KPD) atau bayi sungsang. Meski sudah melewati HPL sekalipun, kehamilan saya dinilai sehat, tidak berisiko tinggi dan menimbulkan kegawatan. Tanpa memikirkan perasaan dan kepercayaan yang sudah terjalin, dokter kandungan saya malah menyuruh untuk melahirkan di Faskes 2 alias RS selain tempat biasanya saya konsultasi dan kontrol kandungan. Tambah sedih dan saya akui merasa kecewa saat itu. Bahkan saya sempat berpikir, apa saya harus dalam keadaan darurat dulu biar bisa melahirkan dan ditangani oleh dokter?
Bagi saya pribadi, penolakan tersebut cukup menjadi pikiran yang menganggu karena saya sudah memilih tim persalinan yang saya rasa tepat dan bisa mendukung saya selama proses persalinan, termasuk memilih dokter kandungan. Tapi saat menjelang proses persalinan tiba-tiba 'diputusin', gimana nggak sedih coba? Memilih dokter yang saya percayai untuk menjadi tim persalinan hampir sama rasanya seperti memilih pasangan hidup tapi ujung-ujungnya nggak jodoh, duh!
Ok next. Saya kemudian langsung membuat keputusan untuk tidak mau menambah beban pikiran dengan urusan administrasi dan dokter. Saya memilih untuk tidak menggunakan fasilitas kesehatan yang saya miliki namun bersikeras agar tetap bisa melahirkan dibantu dengan dokter kandungan yang sudah saya pilih sejak awal. Selanjutnya, saya mau dan harus fokus dengan janin dan proses persalinan.
Tapi ternyata ujian dan perjuangan bertemu si kecil belum berhenti sampai urusan BPJS dan 'ditolak'. Fisik saya melemah sejak saya memasuki ruang bersalin. Berulang kali saya makan dan minum selalu muntah. Saya berpikir ini adalah akibat saya tidak tidur selama 2 hari dan masuk angin, deh. Meski sudah diberi obat lewat infus pun saya tetap muntah. Kalau udah gini caranya gimana saya punya tenaga untuk melahirkan, bukan?
Selain fisik saya yang tiba-tiba ngedrop. Saya akui saya merasa stres dan terpengaruh oleh pasien lain di ruang bersalin. Mulai dari merasa iri karena ada seorang calon ibu yang bisa melalui proses persalinan hanya dalam hitungan jam dengan nyaman, aman dan penuh cinta serta dukungan sampai ada yang keguguran dan menangis di samping ranjang saya berbaring. Fisik melemah dan pikiran serta perasaan yang terganggu alhasil mampu membuat saya stres sesering apapun saya mencoba memberi afirmasi positif terhadap diri saya sendiri. Iya, saya stres.
Diantara gelombang cinta yang saya rasakan di punggung, muntah yang tak kunjung berhenti dan lingkungan yang kurang mendukung, air ketuban tiba-tiba saja pecah saat saya berbaring dan berwarna hijau serta keluar melalui vagina. Sontak saya kaget campur panik, pasalnya air ketuban dengan warna hijau artinya sudah terjadi percampuran dengan zat lain dan bersifat racun. Selain itu, beberapa sumber yang saya pelajari mengungkapkan bahwa hal ini menjadi pertanda bayi stres. Dan tak ada pilihan lain selain melakukan operasi caesar. Takutnya, si kecil nggak bisa bertahan lama karena kekurangan cairan atau malah meminum cairan tersebut.
Jujur, yang ada dalam pikiran saya saat itu hanyalah keselamatan si kecil. Saya tak lagi peduli dengan keinginan awal saya untuk melahirkan secara normal dan alami. Saya tak lagi peduli dengan omongan orang yang mengatakan caesar itu lebih sakit dan proses pemulihannya lebih lama. Saya tak lagi peduli dengan jahitan di perut dan kemungkinan untuk merasakan sakit satu atau dua tahun kedepan. Saya tak lagi peduli dengan stigma bahwa wanita yang melahirkan secara caesar bukan termasuk ke dalam golongan ibu yang sempurna. Saya hanya peduli dengan si kecil dan diri saya sendiri agar bisa segera bertemu dengan sehat dan selamat.
Ya, pada akhirnya saya memutuskan untuk melahirkan secara caesar dan alhamdulillah proses operasi berjalan dengan lancar. Si kecil sehat, saya pun kembali bersemangat. ASI saya pun langsung keluar dan lancar. Dan hari kedua setelah operasi, saya sudah bisa berjalan dan diperbolehkan pulang. Sungguh hal sederhana yang sangat saya syukuri, meski dalam hati kecil saya sempat ada rasa sedih, kecewa, bersalah karena tidak bisa melahirkan secara normal dan merasakan perjuangan serta kuat menghadapi rasa sakit yang lebih dari yang saya rasakan.
Sampai hari ini, meski ada yang menyemangati, tapi terkadang ada juga lingkungan sekitar yang kurang mendukung dengan keputusan yang saya pilih dan membuat saya kembali mengingat proses persalinan yang saya lalui. Seolah 'mengkerdilkan' perjuangan yang telah saya alami. Dan membuat saya berpikir bahwa perjuangan saya belum seberapa, membuat saya seolah menyalahkan saya kurang persiapan dan membuat saya bersedih, terkadang. Namun, apapun itu saya bersyukur telah melalui proses persalinan dengan cara dan cerita saya sendiri. Dan yang paling penting sembari saya terus berdamai dengan diri saya sendiri dan orang lain, setiap hari, kini ada si kecil yang perlahan menyembuhkan 'luka' yang saya rasakan. Terima kasih, nak!
Well, panjang juga ya curhatan saya tentang proses melahirkan yang saya alami kemarin? Terima kasih kalau ada yang sudah berkenan membaca sampai paragraf ini dan biar nggak terasa sia-sia, saya mencoba berbagi tips singkat tentang persiapan apa saja sih yag diperlukan untuk mencapai proses persalinan yang aman, nyaman dan minim trauma. Berikut persiapan yang sebaiknya dilakukan oleh teman-teman yang sedang hamil atau merencanakan kehamilan:
.
Namun, karena usia kehamilan saya sudah melewati HPL, saya disarankan oleh dokter dan bidan untuk langsung rawat inap saja dengan pertimbangan agar perkembangan janin bisa terus dipantau oleh mereka. Saya setuju, begitupula dengan suami dan Mama. Saat suami dan Mama mengurus administrasi saya sudah berpikiran untuk melakukan berbagai hal yang menyenangkan di RS. Selain untuk tujuan biar pembukaan makin nambah, juga biar saya nggak merasa stres. Tapi ternyata pikiran yang menyenangkan itu berubah menjadi hal yang menganggu pikiran saya dan cukup memancing emosi.
Pertama, urusan BPJS Kesehatan. Sejak awal saya memang sudah merencanakan untuk melahirkan menggunakan bantuan dari BPJS yang selama hampir 3 tahun saya iuran tapi belum pernah sama sekali saya gunakan. Sayang kan? Makanya, sejak hamil saya sudah berpikiran untuk menggunakan BPJS. Untungnya lagi RS tempat saya hendak melahirkan bisa menggunakan BPJS dan dokter kandungan yang menangani saya pun menyarankan untuk segera mengurus administrasi yang diperlukan. Tapi sedih dan apesnya, sejak mengurus administrasi di Faskes 1 sudah dipersulit untuk meminta rujukan. Meski akhirnya mendapat rujukan, ternyata sesampainya di RS malah ditolak. Dan yang menolak saya dokter saya sendiri. Sedih nggak sih? Ini nih urusan kedua yang cukup menganggu dan bikin baper.
Kata dokter, kondisi kehamilan saya tidak termasuk dalam daftar kriteria gawat darurat, seperti ketuban pecah dini (KPD) atau bayi sungsang. Meski sudah melewati HPL sekalipun, kehamilan saya dinilai sehat, tidak berisiko tinggi dan menimbulkan kegawatan. Tanpa memikirkan perasaan dan kepercayaan yang sudah terjalin, dokter kandungan saya malah menyuruh untuk melahirkan di Faskes 2 alias RS selain tempat biasanya saya konsultasi dan kontrol kandungan. Tambah sedih dan saya akui merasa kecewa saat itu. Bahkan saya sempat berpikir, apa saya harus dalam keadaan darurat dulu biar bisa melahirkan dan ditangani oleh dokter?
Bagi saya pribadi, penolakan tersebut cukup menjadi pikiran yang menganggu karena saya sudah memilih tim persalinan yang saya rasa tepat dan bisa mendukung saya selama proses persalinan, termasuk memilih dokter kandungan. Tapi saat menjelang proses persalinan tiba-tiba 'diputusin', gimana nggak sedih coba? Memilih dokter yang saya percayai untuk menjadi tim persalinan hampir sama rasanya seperti memilih pasangan hidup tapi ujung-ujungnya nggak jodoh, duh!
Ok next. Saya kemudian langsung membuat keputusan untuk tidak mau menambah beban pikiran dengan urusan administrasi dan dokter. Saya memilih untuk tidak menggunakan fasilitas kesehatan yang saya miliki namun bersikeras agar tetap bisa melahirkan dibantu dengan dokter kandungan yang sudah saya pilih sejak awal. Selanjutnya, saya mau dan harus fokus dengan janin dan proses persalinan.
Tapi ternyata ujian dan perjuangan bertemu si kecil belum berhenti sampai urusan BPJS dan 'ditolak'. Fisik saya melemah sejak saya memasuki ruang bersalin. Berulang kali saya makan dan minum selalu muntah. Saya berpikir ini adalah akibat saya tidak tidur selama 2 hari dan masuk angin, deh. Meski sudah diberi obat lewat infus pun saya tetap muntah. Kalau udah gini caranya gimana saya punya tenaga untuk melahirkan, bukan?
Selain fisik saya yang tiba-tiba ngedrop. Saya akui saya merasa stres dan terpengaruh oleh pasien lain di ruang bersalin. Mulai dari merasa iri karena ada seorang calon ibu yang bisa melalui proses persalinan hanya dalam hitungan jam dengan nyaman, aman dan penuh cinta serta dukungan sampai ada yang keguguran dan menangis di samping ranjang saya berbaring. Fisik melemah dan pikiran serta perasaan yang terganggu alhasil mampu membuat saya stres sesering apapun saya mencoba memberi afirmasi positif terhadap diri saya sendiri. Iya, saya stres.
Diantara gelombang cinta yang saya rasakan di punggung, muntah yang tak kunjung berhenti dan lingkungan yang kurang mendukung, air ketuban tiba-tiba saja pecah saat saya berbaring dan berwarna hijau serta keluar melalui vagina. Sontak saya kaget campur panik, pasalnya air ketuban dengan warna hijau artinya sudah terjadi percampuran dengan zat lain dan bersifat racun. Selain itu, beberapa sumber yang saya pelajari mengungkapkan bahwa hal ini menjadi pertanda bayi stres. Dan tak ada pilihan lain selain melakukan operasi caesar. Takutnya, si kecil nggak bisa bertahan lama karena kekurangan cairan atau malah meminum cairan tersebut.
Jujur, yang ada dalam pikiran saya saat itu hanyalah keselamatan si kecil. Saya tak lagi peduli dengan keinginan awal saya untuk melahirkan secara normal dan alami. Saya tak lagi peduli dengan omongan orang yang mengatakan caesar itu lebih sakit dan proses pemulihannya lebih lama. Saya tak lagi peduli dengan jahitan di perut dan kemungkinan untuk merasakan sakit satu atau dua tahun kedepan. Saya tak lagi peduli dengan stigma bahwa wanita yang melahirkan secara caesar bukan termasuk ke dalam golongan ibu yang sempurna. Saya hanya peduli dengan si kecil dan diri saya sendiri agar bisa segera bertemu dengan sehat dan selamat.
Ya, pada akhirnya saya memutuskan untuk melahirkan secara caesar dan alhamdulillah proses operasi berjalan dengan lancar. Si kecil sehat, saya pun kembali bersemangat. ASI saya pun langsung keluar dan lancar. Dan hari kedua setelah operasi, saya sudah bisa berjalan dan diperbolehkan pulang. Sungguh hal sederhana yang sangat saya syukuri, meski dalam hati kecil saya sempat ada rasa sedih, kecewa, bersalah karena tidak bisa melahirkan secara normal dan merasakan perjuangan serta kuat menghadapi rasa sakit yang lebih dari yang saya rasakan.
Arsa Bhiru Daniswara, lahir pada hari Rabu 7 Februari 2018 dengan berat 3,6 kg dan panjang 50,1 cm secara caesar. |
Well, panjang juga ya curhatan saya tentang proses melahirkan yang saya alami kemarin? Terima kasih kalau ada yang sudah berkenan membaca sampai paragraf ini dan biar nggak terasa sia-sia, saya mencoba berbagi tips singkat tentang persiapan apa saja sih yag diperlukan untuk mencapai proses persalinan yang aman, nyaman dan minim trauma. Berikut persiapan yang sebaiknya dilakukan oleh teman-teman yang sedang hamil atau merencanakan kehamilan:
Pengetahuan
Ketika teman-teman hamil dan memutuskan untuk melakukan proses persalinan dengan cara apapun itu, knowledge is power! Baca dan ketahui pengetahuan yang simpel aja, seperti pengetahuan tentang perubahan fisik dan psikologis yang dialami selama hamil sampai metode dan proses persalinan itu sendiri. Apalagi kalau kehamilan pertama seperti yang saya rasakan kemarin, penting untuk mengetahui dan memahami pengetahuan seputar kehamilan dan persalinan supaya nantinya nggak banyak drama saat melahirkan dan prosesnya bisa berjalan aman, nyaman dan minim trauma. Sejak hamil, saya sendiri meluangkan waktu untuk mengikuti kelas atau workshop seputar kehamilan atau kalau lagi sibuk-sibuknya, cukup membeli buku atau browsing dan baca-baca artikel tentang kehamilan. Dan beneran deh, dengan pengetahuan yang saya pelajari, saya jadi tahu harus mempersiapkan apa saja terhadap tubuh saya sendiri dan selama hamil hingga proses persalinan.
Persiapan Fisik
Nggak kebayang deh kalau mau melahirkan tapi nggak mempersiapkan fisik sejak awal kehamilan. Bisa-bisa malah badan sakit semua dan yang ada malah jadi sakit saat mau melahirkan. Saya pribadi, meski sudah sangat jarang olahraga, sejak hamil saya mengusahakan dan bertekad untuk berolahraga yang memang sebaiknya dilakukan oleh ibu hamil, yoga misalnya. Selebihnya, saya hanya berjalan kaki setiap pagi atau sore hari saja. Selain itu saya juga mencoba untuk mempelajari teknik pernapasan yang baik dan benar, karena menurut salah seorang bidan favorit saya, Yesie Aprillia, napas jadi hal utama yang sebenarnya harus disiapkan dan dipelajari oleh ibu hamil. Nah, dengan menguasai pernapasan saya merasa cukup terbantu saat kontraksi atau gelombang cinta datang.
Persiapan Mental
Nah, ini dia persiapan yang nggak kalah penting dan benar-benar jadi ujian bagi saya pribadi. Sejak awal berada di RS, saya seharusnya sudah siap untuk melawan kejenuhan dan bersiap untuk tetap semangat apapun kondisi lingkungannya. Nyatanya, setelah apa yang saya alami, saya ternyata tidak sepenuhnya siap dengan kondisi di ruang bersalin. Ketika ada banyak pasien dalam satu ruangan bersama, tentu akan ada cerita dan proses persalinan yang berbeda. Dan ketika ada teman seperjuangan yang sudah melahirkan hingga mengalami keguguran, saya tidak menjaga mental dan berusaha tetap semangat tapi malah terbawa perasaan. Persiapan mental beneran jadi PR bagi saya jika nantinya hamil lagi.
Persiapan 'Senjata Tempur'
Selain persiapan fisik dan mental, 'senjata' untuk bertempur dan berjuang saat melahirkan juga penting untuk dipersiapkan. Apa saja senjatanya? Mungkin terdengar sederhana tapi penting, lho. Menurut saya senjata yang penting untuk dipersiapkan untuk menghadapi proses persalinan antara lain:
- Memilih dan memilah tempat bersalin
- Memilih tim bersalin (dokter/bidan) yang tepat dan juga pendamping yang benar-benar bisa mendukung dan menyemangati selama hamil hingga proses persalinan tiba
- Mempersiapkan 'senjata' saat berada di ruang bersalin untuk calon ibu dan si kecil, sekecil apapun itu, baju misalnya.
Wah, makin panjang nih curhatannya. Baiklah, semoga bermanfaat yah dan buat teman-teman yang mungkin sedang merayakan kehamilan, semoga sehat-sehat terus dan bisa melahirkan dengan aman, nyaman dan menyenangkan. Buat teman-teman yang sudah melahirkan baik secara normal maupun caesar, yuk sama-sama semangat, kita semua sama-sama berjuang kok untuk sebuah proses bertaruh nyawa dengan cara kita masing-masing. Dan juga bagi yang sedang berjuang menanti kehamilan, tetap semangat dan semoga doanya segera dikabulkan oleh Allah. Aamiin...